
Ringkasan:{alertringkas}
- JPPI menyoroti besarnya porsi anggaran pendidikan yang dialihkan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG).
- Dugaan pelanggaran Pasal 31 UUD 1945 mendorong rencana gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
- Implementasi MBG di lapangan dinilai memunculkan persoalan baru, termasuk pungutan dan ketimpangan kesejahteraan.
niadi.net — Anggaran Pendidikan Tergerus Program Makan Bergizi Gratis. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai intervensi besar pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi anak kini menuai kritik serius. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai kebijakan ini justru berpotensi merugikan sektor pendidikan karena porsi pendanaannya yang sangat besar diambil dari anggaran pendidikan nasional.
Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menyampaikan bahwa persoalan utama MBG terletak pada sumber pendanaannya. Dari total anggaran pendidikan tahun 2026 sebesar Rp 769,1 triliun, sebanyak Rp 223 triliun dialokasikan untuk program MBG. Angka ini setara dengan sekitar 66 persen, atau mendekati 70 persen dari anggaran pendidikan.
Sementara itu, total kebutuhan anggaran MBG mencapai Rp 335 triliun. Selain dana dari pendidikan, program ini juga menarik Rp 24,7 triliun dari sektor kesehatan dan Rp 19,7 triliun dari sektor ekonomi. Meski demikian, sektor pendidikan tetap menjadi penyumbang terbesar, sehingga memunculkan kekhawatiran serius tentang keberlanjutan pembiayaan pendidikan.
JPPI Nilai MBG Bertentangan dengan Amanat Konstitusi
Ubaid menilai pengalihan anggaran pendidikan ke MBG bertentangan dengan amanat Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945, yang mewajibkan negara mengalokasikan minimal 20 persen APBN untuk pendidikan. Menurut kajian JPPI, setelah dana pendidikan dialihkan ke MBG, porsi anggaran pendidikan yang tersisa hanya sekitar 14,21 persen.
"Gimana ceritanya anggaran makan-makan sumber dananya hampir 70 persen ngerampok dari anggaran pendidikan," kata Ubaid dalam diskusi Catatan Akhir Tahun Rapor Pendidikan 2025 yang digelar JPPI di Bakoel Kopi Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (30/12/2025).
Pernyataan tersebut menegaskan kegelisahan JPPI bahwa program MBG, meski memiliki tujuan sosial, dijalankan dengan mengorbankan mandat konstitusional di sektor pendidikan.
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi Tengah Disiapkan
Atas dasar temuan tersebut, JPPI bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) dan koalisi masyarakat sipil menyatakan siap menempuh jalur hukum. Mereka berencana mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji kebijakan anggaran MBG.
"Ini jelas melanggar Pasal 31 UUD 45 dan Januari akan kami daftarkan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi," katanya.
Langkah ini diambil sebagai upaya menjaga agar alokasi anggaran negara tetap sejalan dengan konstitusi dan tidak mengorbankan sektor strategis seperti pendidikan.
Dugaan Penyimpangan MBG di Sekolah
Selain persoalan anggaran, JPPI juga menemukan indikasi masalah dalam pelaksanaan MBG di tingkat sekolah. Ubaid mengungkap adanya laporan mengenai pungutan yang dibebankan sekolah kepada penyedia layanan MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
"Begitu MBG ini masuk-masuk ke sekolah negeri dan sekolah swasta, ada banyak, saya mendapatkan laporan dari SPPG juga mendapat laporan dari sekolah. Dari SPPG itu banyak sekali SPPG-SPPG yang dipalakin oleh sekolah," kata Ubaid.
Ia mencontohkan, terdapat sekolah yang meminta biaya tertentu per siswa agar program MBG bisa berjalan di lingkungan sekolah tersebut.
"Kalau MBG mau masuk ke sekolah saya, satu anak seribu. SPPG harus bayar ke sekolah saya satu anak seribu per hari. Kalau sekolah saya itu muridnya bisa sampai 5000, 5000 kali seribu berapa? Rp 5 juta, Rp 5 juta sehari," sambungnya.
Praktik semacam ini dinilai berpotensi membuka celah penyalahgunaan dan menambah beban administratif baru di sekolah.
Masalah Teknis MBG: Gizi, Limbah, hingga Keamanan
Tak berhenti pada aspek pendanaan dan pungutan, JPPI juga menyoroti berbagai persoalan teknis dalam implementasi MBG. Beberapa di antaranya meliputi:- Kasus keracunan makanan di sejumlah daerah
- Limbah sisa makanan yang belum dikelola optimal
- Takaran menu yang dinilai belum sepenuhnya sesuai kebutuhan gizi anak
Masalah-masalah ini memperkuat pandangan JPPI bahwa program MBG masih memerlukan evaluasi menyeluruh sebelum diperluas secara masif.
JPPI: Pendidikan Bisa Aman Jika MBG Dipangkas
Berdasarkan kajian internal, JPPI menilai Indonesia hanya membutuhkan tambahan Rp 75 triliun untuk menuntaskan persoalan pendidikan, termasuk menghapus angka putus sekolah dan merealisasikan sekolah gratis bagi negeri maupun swasta.
"Bahkan untuk menjalankan amanah Mahkamah Konstitusi yang sekolah tanpa dipenuhi biaya tadi itu, itu kan perhitungan di MBG cuma butuh Rp 75 triliun. Rp 75 triliun itu cukup dengan anggaran MBG yang per hari Rp 1,2 triliun itu, itu 2 bulan," tuturnya.
Artinya, menurut JPPI, pemangkasan anggaran MBG selama dua bulan saja sudah cukup untuk menutup kebutuhan mendesak sektor pendidikan.
Ketimpangan Kesejahteraan: Guru vs Pegawai SPPG
Isu lain yang memicu keprihatinan adalah ketimpangan kesejahteraan antara guru dan pegawai SPPG. Ubaid menilai kondisi ini ironis, mengingat peran strategis guru dalam pembangunan sumber daya manusia.
"Jadi sangat miris sekali bagaimana guru yang sudah puluhan tahun aktif di sektor pendidikan, digaji Rp 300 ribu, Rp 400 ribu. Sementara untuk supir MBG yang baru masuk sekolah, itu lebih sejahtera," ungkap Ubaid.
Pernyataan ini memperkuat kritik bahwa kebijakan MBG belum sepenuhnya mempertimbangkan keadilan dan prioritas dalam sektor pendidikan.
Perlunya Sinkronisasi MBG dengan Kondisi Fiskal
Ubaid menegaskan bahwa JPPI tidak menolak MBG secara prinsip. Namun, ia menekankan bahwa program tersebut harus disesuaikan dengan kondisi fiskal negara dan tidak memaksakan diri hingga menggerus anggaran sektor vital.
"Kalau anggarannya cukup nggak masalah. Tapi kalau harus mengambil hampir separuh anggaran pendidikan, kan rusak jadi pendidikan kita," katanya.
Kontroversi anggaran MBG menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam merancang kebijakan publik berskala besar. JPPI menilai bahwa tujuan baik meningkatkan gizi anak tidak boleh dicapai dengan mengorbankan amanat konstitusi dan masa depan pendidikan nasional. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi menjadi langkah krusial untuk memastikan kebijakan anggaran tetap berpijak pada prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan.