
niadi.net — Di awal tahun 2025, pengguna Android mungkin mulai menyadari sesuatu yang berbeda saat membuka Google Play Store. Jumlah aplikasi yang tersedia tampak berkurang drastis. Bukan sekadar perasaan — kenyataannya memang jutaan aplikasi telah lenyap dari toko aplikasi resmi milik Google tersebut.
Berdasarkan laporan terbaru dari Appfigures yang dikutip oleh sejumlah media teknologi, terjadi pengurangan besar-besaran terhadap koleksi aplikasi di Play Store.
Jika sebelumnya jumlah aplikasi sempat menembus angka 3,4 juta pada awal tahun 2024, kini hanya tersisa sekitar 1,8 juta saja. Artinya, hampir setengah dari aplikasi yang dulu tersedia telah dihapus dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
Langkah ini bukan kebetulan. Google memang tengah melakukan pembersihan besar terhadap toko aplikasinya. Penyebab utamanya? Kebijakan baru yang mulai berlaku sejak Juli 2024.
Bukan Sekadar Hapus, Tapi Seleksi Ketat
Google telah lama dikritik karena Play Store terlalu mudah dimasuki oleh aplikasi-aplikasi berkualitas rendah, bahkan tak jarang berbahaya.
Banyak aplikasi yang tidak berfungsi, tidak diperbarui, atau sekadar spam, membuat pengalaman pengguna terganggu. Kini, perusahaan raksasa teknologi asal California tersebut mencoba membalikkan citra itu.
Kebijakan baru yang diperkenalkan bertujuan memperketat standar kualitas. Aplikasi yang tidak memberikan manfaat nyata kepada pengguna langsung masuk daftar hitam.
Beberapa jenis aplikasi yang kini langsung ditolak atau dihapus antara lain:- Aplikasi yang hanya menampilkan satu gambar atau wallpaper tanpa interaksi.
- Aplikasi yang hanya menampilkan dokumen PDF tanpa fungsi tambahan.
- Aplikasi dengan nilai tambah yang sangat rendah, seperti generator teks acak atau kloning aplikasi populer dengan fungsi terbatas.
Bukan hanya aplikasi yang rusak yang menjadi sasaran, tetapi juga aplikasi yang tidak inovatif atau tidak memenuhi standar kegunaan minimum.
Dari Otomatis ke Manual: Cara Google Mengubah Strategi
Sistem moderasi Play Store selama ini lebih mengandalkan kecerdasan buatan (AI) dan pemindaian otomatis. Akibatnya, banyak aplikasi spam berhasil lolos karena sistem tidak cukup selektif atau tidak memahami konteks secara mendalam.
Berbeda dengan Apple yang sejak lama menerapkan kurasi manual di App Store, Google sebelumnya dikenal lebih longgar. Ini menjadikan Play Store surga bagi developer eksperimental — namun juga ladang empuk bagi pelaku penyebar aplikasi scam, aplikasi tiruan, dan proyek yang tidak diselesaikan.
Namun, sejak pertengahan 2024, pendekatan itu berubah total. Google kini mulai menerapkan langkah-langkah berikut:- Verifikasi ketat terhadap identitas pengembang.
- Kewajiban melakukan pengujian menyeluruh untuk akun developer baru.
- Peninjauan manual terhadap aplikasi sebelum dirilis ke publik.
Dengan kombinasi antara peningkatan penggunaan teknologi AI dan pengawasan manual oleh manusia, Google mencoba menciptakan keseimbangan antara kecepatan dan kualitas.
Hasil Bersih: Jutaan Aplikasi Hilang, Tapi Ekosistem Lebih Sehat
Pembersihan masif ini tampaknya menunjukkan hasil positif. Dalam laporan resmi, Google menyatakan telah berhasil mencegah peluncuran sekitar 2,36 juta aplikasi yang tidak sesuai standar sejak diberlakukannya kebijakan baru.
Selain itu, lebih dari 158.000 akun developer telah ditangguhkan karena terindikasi melanggar kebijakan atau berpotensi berbahaya.
Meski jumlah total aplikasi berkurang signifikan, hal ini tidak berarti dunia pengembangan aplikasi Android sedang lesu. Justru sebaliknya.
Google mencatat bahwa lebih dari 10.000 aplikasi baru telah diterbitkan sepanjang tahun ini — bahkan meningkat 7,1% dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya, pengembang masih aktif dan ekosistem tetap berkembang, hanya saja kini lebih terkurasi.
Faktor Tambahan: Regulasi Uni Eropa
Selain kebijakan internal Google, ada juga pengaruh dari regulasi eksternal.
Uni Eropa, melalui peraturan baru yang mulai berlaku pada Februari 2025, mengharuskan setiap pengembang aplikasi mencantumkan informasi pribadi yang bisa diverifikasi, seperti nama lengkap dan alamat fisik. Jika tidak mematuhi aturan ini, aplikasi mereka akan dikeluarkan dari daftar publik di wilayah Eropa.
Namun, kebijakan ini bukan penyebab utama dari hilangnya 1,6 juta aplikasi. Sebagai perbandingan, App Store milik Apple juga tunduk pada regulasi serupa tetapi tidak mengalami penyusutan aplikasi sebesar Play Store.
Jadi, inti masalah tetap terletak pada strategi internal Google untuk merombak Play Store secara menyeluruh.
Manfaat untuk Pengguna Android
Bagi pengguna Android, jumlah aplikasi yang lebih sedikit justru bisa menjadi keuntungan. Pengalaman menjelajahi Play Store kini jadi lebih nyaman dan efisien.
Tanpa harus menyaring ribuan aplikasi palsu, rusak, atau tak berguna, pengguna bisa lebih cepat menemukan aplikasi yang benar-benar berkualitas.
Langkah ini juga membuat Play Store lebih aman. Dengan semakin sedikit celah bagi aplikasi scam dan pencurian data, pengguna bisa lebih tenang saat mengunduh dan menggunakan aplikasi.
Selain itu, pengembang yang serius akan mendapat lebih banyak sorotan. Dalam pasar yang lebih bersih dan kompetitif secara sehat, kualitas akan lebih mudah terlihat, dan aplikasi yang benar-benar memberikan solusi akan lebih dihargai.
Transformasi Play Store: Dari Lautan Sampah ke Etalase Premium?
Dalam satu tahun, Google telah mengubah wajah Play Store dari toko terbuka yang nyaris tidak terkendali, menjadi ruang yang lebih tertata dan ramah pengguna.
Pembersihan ini memang cukup ekstrem, tetapi tampaknya diperlukan demi masa depan yang lebih sehat bagi ekosistem Android.
Tentu, tantangan masih ada. Akan selalu ada pihak yang mencoba menyusup dengan aplikasi berbahaya atau menipu sistem.
Namun, dengan kombinasi antara teknologi canggih dan pengawasan manusia, Google menunjukkan bahwa mereka mulai mengambil tanggung jawab lebih besar atas apa yang mereka izinkan beredar di platformnya.
Bagi pengguna Android, ini adalah kabar baik. Di tengah lautan informasi digital yang makin padat, memiliki tempat yang bersih dan terpercaya untuk mencari aplikasi bukanlah hal kecil. Justru itulah yang bisa membedakan pengalaman digital yang nyaman dengan yang penuh frustrasi.