
niadi.net — Wacana dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengenai kewajiban vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) telah memicu pro dan kontra.
Di satu sisi, usulan ini tampak seperti bentuk terobosan dalam pengendalian populasi dan pembagian tanggung jawab reproduktif antara laki-laki dan perempuan. Namun di sisi lain, kebijakan ini justru membuka kotak Pandora persoalan etika, hak asasi manusia, dan ketimpangan sosial.
Vasektomi sebagai bagian dari program keluarga berencana memang bisa dianggap sebagai langkah maju. Selama ini, beban kontrasepsi sebagian besar dibebankan kepada perempuan.
Dengan mendorong pria ikut serta melalui metode vasektomi, ada semacam keseimbangan baru dalam urusan pengendalian kelahiran. Secara prinsip, ini bisa dilihat sebagai progresif.
Tapi semua potensi baik itu runtuh ketika kebijakan tersebut ditempatkan dalam kerangka pemaksaan. Membuat vasektomi menjadi syarat untuk menerima bantuan sosial bukan lagi soal membagi tanggung jawab, melainkan memindahkan tekanan dari negara ke tubuh warga miskin.
Di titik inilah ide yang tampaknya modern itu justru berubah menjadi bentuk kontrol yang kasar dan diskriminatif.
Ketika Pilihan Pribadi Diubah Jadi Kewajiban Negara
Hak untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh terjadi pada tubuh seseorang adalah bagian paling dasar dari hak asasi manusia.
Ini ditegaskan oleh berbagai konvensi internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Semua menekankan satu hal: keputusan medis harus berbasis pada persetujuan yang bebas dan sadar.
Jika negara memaksa seseorang untuk menjalani prosedur medis tertentu—apalagi yang menyangkut sistem reproduksi—maka itu melanggar prinsip dasar tersebut. Terlebih lagi jika pemaksaan itu dilakukan kepada kelompok tertentu saja, dalam hal ini masyarakat miskin, maka kebijakan tersebut bukan hanya melanggar hak, tapi juga diskriminatif.
Pasal 28G ayat (1) dalam UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya. Ini mencakup hak atas integritas tubuh, yang seharusnya tidak boleh dilanggar dengan dalih apapun, termasuk kebijakan bansos.
Negara Tak Boleh Memanfaatkan Kemiskinan untuk Menekan Warga
Satu hal yang perlu digarisbawahi: bantuan sosial bukanlah hadiah, tapi hak warga negara. Negara punya kewajiban untuk melindungi dan memastikan kehidupan layak bagi seluruh rakyatnya, terutama yang paling rentan. Membuat bansos bersyarat dengan intervensi medis adalah bentuk manipulasi kekuasaan.
Apa yang tampak sebagai kebijakan teknokratik sejatinya menyimpan bias ideologis yang serius. Dalam bahasa sosiolog Pierre Bourdieu, ini bisa disebut sebagai kekerasan simbolik. Negara menggunakan posisi dominannya untuk memaksa masyarakat miskin tunduk, sambil tetap menjaga wajah seolah-olah mereka sedang "membantu".
Padahal, kelompok menengah dan atas tidak pernah diminta melakukan hal serupa untuk mendapatkan berbagai fasilitas negara. Mengapa hanya kelompok miskin yang harus ‘berkorban’? Apakah mereka tidak berhak menentukan nasib reproduksinya sendiri? Inilah bentuk ketidaksetaraan struktural yang dibungkus dalam jargon kebijakan.
Kemiskinan Bukan Karena Terlalu Banyak Anak
Salah satu argumen klasik yang kerap muncul dalam diskusi soal populasi adalah bahwa kemiskinan terjadi karena jumlah anak terlalu banyak. Narasi ini bukan hanya menyederhanakan realitas, tetapi juga menyesatkan.
Penyebab kemiskinan jauh lebih kompleks: mulai dari ketidaksetaraan akses pendidikan, lapangan kerja yang minim, kebijakan ekonomi yang timpang, hingga ketidakadilan distribusi sumber daya.
Dengan menjadikan tubuh warga miskin sebagai sasaran kontrol, negara seolah sedang menyalahkan mereka atas kondisi yang sebenarnya merupakan hasil dari kegagalan sistem. Alih-alih membenahi akar persoalan, pemerintah justru menyasar gejalanya.
Pendekatan seperti ini bisa dibilang nyaris menyerempet ke arah eugenik tersembunyi—yakni ide bahwa hanya kelompok tertentu yang layak memiliki keturunan. Negara mengambil peran untuk menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh memiliki anak, berdasarkan status ekonomi. Ini jelas mengancam prinsip kesetaraan dan kemanusiaan dalam demokrasi.
Edukasi, Bukan Paksaan
Jika tujuannya adalah menekan angka kelahiran atau mendorong partisipasi pria dalam program keluarga berencana, maka jalan terbaik adalah lewat edukasi. Edukasi yang bersifat membebaskan, bukan yang mengarah pada manipulasi atau intimidasi.
Program keluarga berencana harus dibingkai dalam semangat pemberdayaan. Masyarakat perlu diberi informasi yang jujur, lengkap, dan netral tentang berbagai pilihan kontrasepsi, termasuk vasektomi. Setelah itu, keputusan tetap berada di tangan individu, bukan birokrasi.
Pendidikan reproduktif harus menjadi bagian integral dari kebijakan publik, bukan hanya untuk yang miskin, tapi untuk seluruh warga. Negara yang menghormati hak asasi tidak memaksa rakyatnya, melainkan membekali mereka dengan pengetahuan untuk membuat keputusan terbaik untuk dirinya sendiri.
Keadilan Sosial Tak Pernah Datang dari Atas Meja Operasi
Penting diingat bahwa keadilan sosial tidak lahir dari intervensi medis paksa. Ia tumbuh dari struktur kebijakan yang adil, akses yang merata terhadap layanan dasar, dan penghormatan penuh terhadap martabat manusia.
Dalam demokrasi yang sehat, tubuh warga bukan alat tukar untuk mendapatkan haknya. Setiap orang berhak atas kehidupan yang layak tanpa harus menyerahkan kendali atas tubuhnya kepada negara.
Jadi, kalau negara serius ingin menurunkan angka kemiskinan, maka fokusnya harus pada hal-hal fundamental: pendidikan berkualitas, sistem kesehatan yang inklusif, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi kekayaan yang adil. Bukan dengan mempersyaratkan prosedur medis yang seharusnya bersifat personal.
Kebijakan Baik Tak Boleh Lahir dari Paksaan
Vasektomi bisa menjadi bagian dari solusi dalam pengendalian populasi dan pembagian tanggung jawab keluarga. Tapi itu hanya benar jika dilakukan secara sukarela. Ketika negara mulai mencampuri urusan pribadi warganya dengan mengkondisikan bantuan sosial pada tindakan medis tertentu, kita sudah masuk ke wilayah yang sangat berbahaya.
Kebijakan publik harus berakar pada penghormatan terhadap hak asasi, bukan pada logika efisiensi atau angka semata. Dalam hal ini, edukasi yang merata dan inklusif adalah satu-satunya jalan yang benar. Sebab progresivitas sejati tidak pernah datang dari tekanan, tapi dari kebebasan memilih.