Trending

Anak Nakal Dikirim ke Barak? Pendekatan Militer di Sekolah Bisa Jadi Bumerang

Anak Nakal Dikirim ke Barak? Pendekatan Militer di Sekolah Bisa Jadi Bumerang
indonesiadefense.com

niadi.net — Rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi yang ingin mengirim siswa bermasalah ke barak militer menuai sorotan tajam.

Kritik datang dari berbagai kalangan, salah satunya dari pengamat militer Khairul Fahmi yang menilai pendekatan ini tidak hanya keliru, tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan mental anak-anak yang menjadi sasaran program.

Menurut Fahmi, siswa yang terlibat dalam perilaku menyimpang—baik itu tawuran, kecanduan gim, pembangkangan, hingga mabuk-mabukan—bukanlah ancaman keamanan nasional yang perlu ditangani dengan metode ala militer.

Mereka adalah remaja yang sedang mencari jati diri, sering kali berada dalam kondisi psikososial yang tidak stabil, dan seharusnya dibantu dengan pendekatan yang bersifat edukatif dan empatik, bukan ditertibkan seolah-olah mereka adalah pelanggar hukum berat.

"Yang dibutuhkan bukan barak, tapi ruang yang memulihkan. Ruang aman untuk belajar, berdialog, dan berubah," ujar Fahmi. {alertError}

Pendekatan Militer: Solusi Cepat, Dampak Panjang

Gagasan untuk memasukkan siswa ke dalam lingkungan barak militer, dilengkapi dengan disiplin keras dan kegiatan semi-militer, mungkin terdengar seperti solusi cepat untuk menekan kenakalan remaja.

Namun, pendekatan semacam ini menyimpan risiko serius, terutama dari sisi psikologis. Anak-anak yang bermasalah biasanya membawa luka atau tekanan batin dari lingkungan rumah, sekolah, atau pergaulan.

Alih-alih membantu menyembuhkan luka tersebut, pendekatan militer justru bisa menambah trauma baru.
"Disiplin sejati bukan lahir dari rasa takut, tetapi dari kesadaran diri," tambah Fahmi. {alertWarning}

Dalam dunia pendidikan modern, konsep "pendidikan restoratif" atau pemulihan menjadi metode yang kian banyak digunakan. Pendekatan ini menempatkan anak sebagai subjek yang perlu dipahami, bukan objek yang harus dipaksa tunduk.

Alih-alih dihukum secara fisik atau mental, anak-anak diajak merefleksikan perilaku mereka dan memperbaikinya dengan kesadaran sendiri, melalui pendampingan, konseling, hingga keterlibatan aktif dalam kegiatan positif.

Apakah Perlu Menggandeng TNI dan Polri?

Dalam pernyataannya, Dedi Mulyadi menyebutkan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan TNI dan Polri untuk melaksanakan program pendidikan berkarakter di beberapa daerah.

Program ini akan digelar di daerah yang dianggap rawan terlebih dahulu, dengan melibatkan 30–40 barak militer sebagai lokasi pelatihan selama enam bulan bagi siswa yang dianggap sulit dibina.

Tidak hanya itu, mulai tahun ajaran baru, Gubernur Jabar ini juga mengumumkan akan menerapkan kurikulum wajib militer di tingkat SMA dan SMK. Tujuannya, katanya, adalah untuk membentuk karakter kuat, meningkatkan daya saing, dan menjauhkan siswa dari kenakalan remaja seperti tawuran atau geng motor.

Rencana ini secara administratif mungkin terlihat ambisius dan terstruktur. Tapi substansi dari kebijakan ini kembali dipertanyakan: apakah keterlibatan militer di sekolah adalah cara yang tepat untuk membentuk karakter anak muda?

Kenakalan Remaja Bukan Masalah Keamanan, Tapi Sosial

Kenakalan remaja bukan persoalan baru. Sejak dulu, masyarakat Indonesia menghadapi berbagai bentuk perilaku menyimpang dari kalangan muda.

Namun, menyederhanakan persoalan ini menjadi soal disiplin yang bisa "dipukul rata" dengan metode militer jelas merupakan langkah yang bisa kontraproduktif.

Tawuran, misalnya, sering kali terjadi karena minimnya ruang ekspresi, kurangnya kontrol sosial, dan absennya kedekatan emosional antara anak dan orang dewasa.

Anak-anak yang kecanduan gim daring biasanya lari dari realitas karena mengalami tekanan di dunia nyata—baik di rumah maupun di sekolah. Dan anak-anak yang membangkang sering kali hanya ingin didengar.

Semua ini tidak akan selesai hanya dengan baris-berbaris atau bangun jam 4 pagi di barak militer.

Pendidikan Bukan Sekadar Soal Kerasnya Aturan

Pendidikan karakter bukan berarti menyalin sistem pelatihan militer. Pendidikan karakter yang efektif tumbuh dari interaksi, keteladanan, dan rasa aman.

Di sinilah letak pentingnya sekolah sebagai rumah kedua bagi anak. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang memulihkan luka, bukan memperdalam luka itu dengan pendekatan koersif.

Jika pendidikan hanya diisi dengan perintah dan hukuman, maka anak akan patuh karena takut, bukan karena mengerti. Dan begitu rasa takut hilang, perilaku buruk bisa kembali muncul. Ini bukan pembentukan karakter, melainkan penundaan masalah.

Alternatif yang Lebih Manusiawi

Daripada membangun program berbasis barak, ada banyak pendekatan yang lebih manusiawi dan relevan dengan dunia anak-anak:
  1. Program Konseling Sekolah: Perkuat kehadiran konselor profesional di setiap sekolah, agar siswa yang bermasalah bisa didampingi secara psikologis.
  2. Kelas Reflektif dan Diskusi Terbuka: Ajak siswa memahami konsekuensi perilaku mereka melalui diskusi, bukan ancaman.
  3. Kegiatan Ekstrakurikuler yang Menarik: Beri ruang bagi ekspresi, seperti seni, olahraga, sains, atau komunitas sosial.
  4. Pelatihan Guru dalam Manajemen Kelas dan Empati: Sering kali guru tidak dibekali cukup untuk memahami siswa yang mengalami gangguan perilaku.
  5. Keterlibatan Orang Tua: Bentuk komunikasi yang intens antara pihak sekolah dan keluarga agar pembinaan bisa dilakukan bersama-sama.

Apakah Indonesia Menuju Militerisasi Pendidikan?

Wacana wajib militer di sekolah bukan hal baru di Indonesia, tapi selalu menjadi kontroversi. Negara-negara dengan sistem pendidikan maju cenderung menjauh dari pendekatan militeristik karena dianggap ketinggalan zaman.

Dunia pendidikan global hari ini berbicara tentang inklusivitas, pendidikan emosional, dan literasi sosial—bukan tentang baris-berbaris dan kedisiplinan semu.

Jika pendekatan militer menjadi dominan dalam pendidikan, bukan tidak mungkin Indonesia mengalami "militerisasi pendidikan" secara tidak langsung. Ini bisa menggeser nilai-nilai demokrasi, partisipasi, dan kritisisme yang seharusnya diajarkan sejak dini.

Pendidikan yang Menguatkan, Bukan Menakutkan

Membentuk karakter anak muda adalah pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan kesabaran, bukan kemarahan. Mendidik bukan soal mendisiplinkan dalam arti sempit, tapi membimbing, mendengar, dan memberi ruang untuk tumbuh.

Anak-anak yang hari ini dianggap "nakal" mungkin adalah korban dari lingkungan yang gagal memenuhi kebutuhan emosional mereka. Jika kita bertindak dengan pendekatan yang salah, bukan tidak mungkin mereka justru semakin menjauh dari jalan yang benar.

Pendidikan bukan tentang menciptakan tentara dari bangku sekolah, tapi tentang membangun manusia utuh—yang berpikir, merasa, dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Dan itu tidak akan tercapai jika anak-anak kita dididik dalam ketakutan.

Lebih baru Lebih lama
Cek tulisan lainnya lebih cepat melalui saluran WhatsApp
Support kami dengan SHARE tulisan ini dan traktir kami KOPI.

Formulir Kontak