Ringkasan:{alertringkas}
- Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PP No 17 Tahun 2025 untuk membatasi akses media sosial bagi anak.
- Aturan membagi batasan usia anak berdasarkan tingkat risiko layanan digital.
- Pembatasan medsos dinilai penting untuk melindungi kesehatan mental dan literasi anak.
niadi.net — Pembatasan penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur kini menjadi perhatian serius banyak negara di dunia. Pemerintah di berbagai belahan dunia menilai bahwa ruang digital yang tidak terkontrol dapat membawa dampak buruk terhadap tumbuh kembang anak, baik secara psikologis, sosial, maupun akademik.
Salah satu negara yang paling tegas dalam kebijakan ini adalah Australia, yang secara eksplisit melarang anak di bawah usia 16 tahun mengakses media sosial.
Langkah Australia tersebut kemudian diikuti oleh sejumlah negara lain, termasuk Malaysia serta beberapa negara di kawasan Eropa. Mereka mulai merumuskan regulasi serupa demi melindungi generasi muda dari risiko paparan konten negatif, kecanduan digital, hingga kejahatan siber.
Di Indonesia sendiri, kebijakan pembatasan media sosial untuk anak sebenarnya telah lebih dulu disiapkan. Pemerintah telah menerbitkan regulasi khusus yang mengatur akses anak terhadap layanan digital, jauh sebelum kebijakan serupa diterapkan di negara lain.
Indonesia Lebih Dulu Atur Pembatasan Medsos Anak
Pemerintah Indonesia secara resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak. Aturan ini menjadi landasan hukum dalam menciptakan ruang digital yang aman, sehat, dan ramah bagi anak-anak.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menjelaskan bahwa regulasi tersebut telah terbit pada Maret 2025. Namun, pelaksanaannya masih berada dalam tahap persiapan dan penyesuaian bersama para penyelenggara platform digital.
"Kita sekarang sedang masa transisi, persiapan, dengan para platform besar untuk kemudian mudah-mudahan dalam waktu satu tahun di Maret 2026 bisa mulai kita lakukan (pembatasan medsos)," ujarnya.
Menurut Meutya, dampak kebijakan ini memang belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat karena pemerintah masih melakukan koordinasi teknis dengan perusahaan platform digital global maupun nasional.
Indonesia Jadi Rujukan Negara Lain
Lebih lanjut, Meutya menyampaikan bahwa langkah Indonesia dalam mengatur akses media sosial bagi anak justru menjadi rujukan bagi negara lain. Sejumlah negara kini mengikuti jejak Indonesia dalam menyusun kebijakan serupa.
Meutya menyebutkan bahwa Malaysia dan beberapa negara di Eropa saat ini juga tengah berada dalam tahap perumusan aturan pembatasan media sosial bagi anak-anak.
"Tahun depan bulan Maret sudah mulai bisa kita laksanakan melindungi anak-anak kita dengan melakukan penundaan akses akun pada anak-anak usia 13 dan 16 tahun, tergantung risiko masing-masing platform," ungkapnya.
Dengan target implementasi pada Maret 2026, pemerintah berharap perlindungan terhadap anak di ruang digital dapat berjalan lebih optimal dan terstruktur.
Sanksi bagi Platform yang Tidak Patuh
Pemerintah menegaskan bahwa regulasi ini tidak hanya bersifat imbauan, tetapi memiliki konsekuensi hukum bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) yang tidak mematuhi ketentuan. Sanksi yang disiapkan beragam, mulai dari administratif hingga pemutusan akses.
"Mengenai sanksi-sanksi ini, nanti kami akan keluarkan Permen. Semua sedang kita gondok. Saat ini prosesnya adalah kita lakukan uji petik di mana anak-anak di Jogja sedang kita lakukan survei mereka kita berikan waktu untuk masuk ke PSE besar, lalu mereka akan memberikan feedback," pungkas Meutya.
Uji coba tersebut dilakukan untuk memastikan sistem verifikasi usia dan persetujuan orang tua dapat berjalan efektif sebelum aturan diterapkan secara penuh di seluruh Indonesia.
Isi dan Ketentuan PP Nomor 17 Tahun 2025
Dalam PP Nomor 17 Tahun 2025, pemerintah mengatur pembatasan akses layanan digital berdasarkan kelompok usia anak dan tingkat risiko platform. Pendekatan ini dilakukan agar kebijakan lebih proporsional dan tidak menghambat kebutuhan edukatif anak.
Anak di Bawah 13 Tahun
Anak-anak di bawah usia 13 tahun hanya diperbolehkan memiliki akun pada layanan digital berisiko rendah yang secara khusus dirancang untuk anak-anak. Penggunaan layanan tersebut wajib disertai izin dan pendampingan orang tua.
Usia 13 hingga 15 Tahun
Pada kelompok usia ini, anak diperbolehkan mengakses layanan digital dengan tingkat risiko sedang. Namun, persetujuan orang tua tetap menjadi syarat utama sebelum anak dapat menggunakan layanan tersebut.
Usia 16 hingga 17 Tahun
Anak berusia 16 hingga 17 tahun diizinkan mengakses layanan digital berisiko tinggi, termasuk media sosial umum, dengan catatan telah memperoleh persetujuan dari orang tua atau wali.
Selain itu, PP ini mewajibkan PSE untuk melakukan verifikasi usia pengguna serta memastikan adanya mekanisme persetujuan orang tua yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tingginya Penggunaan Medsos oleh Anak
Pembatasan ini dinilai penting karena fakta menunjukkan tingginya intensitas penggunaan media sosial di kalangan anak dan remaja. Menurut Surgeon General Amerika Serikat, hampir 40 persen anak usia 8 hingga 12 tahun telah aktif di media sosial, sementara angkanya melonjak hingga 95 persen pada kelompok usia 13 hingga 17 tahun.
Berbagai studi juga mengungkap dampak serius terhadap kesehatan mental. Remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di media sosial memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi dan kecemasan.
Oleh sebab itu, orang tua perlu berdialog terbuka dengan anak terkait penggunaan media sosial, termasuk memahami bahwa konten di dunia maya tidak selalu mencerminkan realitas.
"Media sosial cenderung membuat kita membandingkan diri sendiri dengan orang lain," kata psikolog anak Kate Eshleman, Sabtu (13/12/2025).
"Kebanyakan orang ingin pamer dengan mengunggah apa yang mereka ingin orang lain lihat di media sosial. Dan hal itu bisa membuat anak-anak minder dan rendah diri karena merasa dirinya tidak lebih baik dari orang lain," lanjutnya.
Risiko Perilaku Digital Bermasalah
Penelitian menunjukkan bahwa anak di bawah usia 11 tahun yang menggunakan platform seperti Instagram dan Snapchat lebih rentan mengalami perilaku digital bermasalah. Mereka cenderung memiliki pergaulan terbatas di dunia nyata dan lebih sering terpapar konten yang tidak sesuai usia.
Selain itu, anak-anak juga berisiko menjadi korban atau pelaku perundungan daring. Data menunjukkan bahwa 33 persen anak usia 11 hingga 15 tahun merasa kecanduan media sosial, dan lebih dari separuh remaja mengaku kesulitan menghentikan kebiasaan tersebut.
Paparan konten idealisasi tubuh juga memicu gangguan citra diri. Laporan menyebutkan bahwa 46 persen remaja usia 13 hingga 17 tahun merasa media sosial berdampak buruk terhadap persepsi tubuh mereka.
Tak hanya itu, dunia maya juga dipenuhi konten berbasis kebencian dan pelecehan. Sebanyak 64 persen remaja mengaku sering terpapar konten negatif, sementara hampir 60 persen remaja perempuan pernah dihubungi orang asing dengan cara yang membuat mereka merasa tidak aman.
Pembatasan Medsos Dinilai Sebagai Keharusan
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan (JPPI), Ubaid Matraji, menilai pembatasan media sosial untuk anak bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan mendesak.
Menurut Ubaid, rendahnya literasi pelajar Indonesia, termasuk literasi digital, menjadi alasan kuat perlunya pembatasan tersebut.
"Terutama di lingkungan sekolah dan saat jam belajar, pembatasan penggunaan medsos bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk 'memaksa' anak kembali berinteraksi dengan teks yang panjang, analitis, dan mendalam," jelas Ubaid.
Namun demikian, Ubaid menegaskan bahwa kebijakan ini tidak boleh berdiri sendiri tanpa dukungan infrastruktur literasi.
Pentingnya Dukungan Literasi dan Akses Buku
Ubaid menyoroti keterbatasan akses buku sebagai tantangan besar dalam meningkatkan budaya literasi anak-anak Indonesia.
"Saat ini, buku masih menjadi barang elit dan hanya ada di kota. Karena itu, susah diakses oleh anak-anak. Apalagi harganya juga mahal. Karena itu, pemerintah harus menyediakan dan memberikan secara cuma-cuma kepada semua anak," terangnya.
Selain distribusi buku, peningkatan kualitas perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah juga dinilai krusial. Perpustakaan yang layak dapat menjadi sarana efektif untuk menumbuhkan minat baca dan berpikir kritis.
Literasi Digital untuk Cegah Kejahatan Siber
Pemerintah juga didorong untuk memperkuat literasi digital bagi anak-anak. Kemampuan memahami informasi digital secara kritis akan membantu anak lebih bijak dalam berinteraksi di ruang maya.
Menurut Ubaid, peningkatan literasi digital memiliki korelasi kuat dengan penurunan kasus kejahatan siber yang melibatkan anak.
"Nah, ketika anak-anak kemampuan literasinya sudah bagus, termasuk literasi digital, maka dengan sendirinya akan mengurangi kasus-kasus kejahatan anak di ranah digital," pungkasnya.
Penerbitan PP Nomor 17 Tahun 2025 menandai keseriusan negara dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial. Dengan pengaturan usia, kewajiban verifikasi, serta keterlibatan orang tua dan platform digital, pemerintah berharap ruang digital Indonesia menjadi lebih aman dan sehat.
Namun, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada aturan semata, melainkan juga pada penguatan literasi, akses pendidikan, dan kolaborasi semua pihak demi masa depan anak-anak Indonesia.