
niadi.net — Korban Tewas di Gaza Lampaui 70.000 Orang di Tengah Gempuran Israel. Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kembali memburuk setelah serangan militer Israel terus berlangsung meskipun telah disepakati gencatan senjata pada 10 Oktober 2025. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza yang berada di bawah administrasi Hamas mencatat bahwa jumlah warga Palestina yang tewas sejak operasi militer dimulai telah menembus lebih dari 70.000 jiwa.
Angka tersebut mencakup lebih dari 350 korban tambahan yang dilaporkan terbunuh setelah perjanjian penghentian tembakan diberlakukan. Lembaga kemanusiaan internasional menilai situasi ini sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Serangan Berlanjut Meski Ada Gencatan Senjata
Kendati gencatan senjata diumumkan, serangan udara dan manuver militer Israel kembali muncul dengan alasan adanya pelanggaran terhadap kesepakatan tersebut. Tentara Israel mengklaim bahwa beberapa kelompok Palestina dinilai melintasi area yang dilarang berdasarkan perjanjian yang dimediasi Amerika Serikat.
Insiden paling tragis terjadi pada Sabtu (29/11/2025), ketika sebuah drone menghantam dua anak bersaudara—Fadi dan Juma Abu Assi—yang sedang mengumpulkan kayu bakar di kawasan timur Khan Younis, Gaza selatan.
"Kedua anak itu hanya mencari kayu untuk kebutuhan rumah tangga. Kami tidak pernah menyangka mereka akan menjadi sasaran," ungkap anggota keluarga korban yang ditemui media setempat.
Laporan lokal menyebutkan bahwa Fadi berusia sekitar 8 tahun, sementara kakaknya, Juma, diperkirakan berusia 10 atau 11 tahun. Jenazah keduanya dimakamkan di Rumah Sakit Nasser pada hari yang sama dengan penuh duka mendalam dari keluarga dan warga sekitar.
Israel Klaim Serangan Ditujukan kepada Pelanggar 'Garis Kuning'
Militer Israel atau Israel Defense Forces (IDF) menyampaikan bahwa serangan drone tersebut diarahkan kepada dua individu yang diduga melintasi "garis kuning", yakni batas zona penarikan pasukan Israel yang menjadi bagian dari kesepakatan gencatan senjata.
Menurut IDF, pihaknya hanya menargetkan individu yang dianggap membahayakan keamanan. Namun, warga Gaza dan organisasi HAM menilai penjelasan tersebut tidak cukup kuat untuk membenarkan jatuhnya korban anak-anak.
Hingga kini, masih belum ada verifikasi independen dari lembaga internasional mengenai klaim tersebut akibat terbatasnya akses jurnalis asing.
Pembatasan Akses Media Hambat Verifikasi Data Lapangan
Sejak awal operasi militer 2023 dan terus berlanjut hingga 2025, pemerintah Israel tidak memberikan izin bagi wartawan internasional untuk memasuki Gaza secara bebas. BBC dan sejumlah media global lainnya menyatakan bahwa pembatasan ini menyulitkan upaya memastikan jumlah korban maupun kondisi sebenarnya di lapangan.
Meski begitu, data dari Kementerian Kesehatan Gaza selama ini sering dijadikan rujukan oleh PBB dan lembaga kemanusiaan internasional karena konsistensi pencatatan yang dilakukan sejak konflik memanas.
Israel beberapa kali menolak hasil pelaporan tersebut dan menuding angka korban dibesar-besarkan. Namun, para analis menilai bahwa tanpa akses langsung badan internasional, data Gaza tetap menjadi sumber utama yang tersedia.
Akar Konflik dari Serangan 7 Oktober 2023
Gelombang serangan Israel di Gaza bermula dari aksi militan Hamas pada 7 Oktober 2023. Dalam serangan besar yang mengejutkan tersebut, sekitar 1.200 warga Israel tewas, sementara lebih dari 250 orang diculik dan dijadikan sandera.
Israel kemudian melancarkan operasi balasan skala besar yang terus berlangsung hingga 2025, termasuk serangan udara, operasi darat, dan pembatasan total terhadap akses bantuan kemanusiaan. Siklus kekerasan ini mengakibatkan jumlah korban melonjak signifikan dan memicu krisis kemanusiaan yang belum terlihat ujungnya.
Krisis Kemanusiaan Memburuk
Lembaga kemanusiaan internasional menggambarkan Gaza sebagai wilayah yang berada di "ambang kolaps". Banyak warga kehilangan tempat tinggal, fasilitas medis runtuh akibat serangan, dan pasokan obat-obatan kritis semakin menipis. Ribuan anak—seperti Fadi dan Juma—menjadi korban dalam konflik yang berkepanjangan ini.
Organisasi kesehatan global memperingatkan bahwa jika serangan tidak segera dihentikan, angka korban berpotensi bertambah drastis, terutama di tengah kelangkaan makanan, air bersih, dan tempat perlindungan.